Jumat, 30 Desember 2016

Ketika Hanya Tuhan yang Tahu

'Fir, masih sakit?'

'Nggak, kenapa emang?'

'Tumben aja we diem di rumah'

'Ya terus? Emangnya harus gimana?'

'Main kek, nongkrong, jalan-jalan, ke Pangandaran'

'Lah, maneh kenapa gak ikut ke Pangandaran juga?'

'Urang kedoktrin temen sih. Temen urang cerita gitu ada temennya yang meninggal keseret arus di pantai lagi liburan. Kan gak lucu aja kalau misalkan urang nanti mati kebawa arus.'


Ya bener juga sih.

Urang masih bersyukur kok maneh nggak kenapa-napa pas beberapa waktu lalu ke Makassar. Di perjalanan aman, selamat. Nggak kayak temen satu tripnya Alwin yang mobilnya masuk jurang lalu meninggal. Untung kakakku ada di mobil yang berbeda huhu. Nggak sampe kecelakaan di jalan lalu meninggal kayak temennya Wildhan. Penginapan juga aman, showernya nggak konslet kayak punyanya ci Rini. Manehnya juga masih dikasih nikmat sehat, nggak seperti Ayahnya Nurul dan Awal yang harus menghadap Tuhan karena sakit, padahal usianya belum sampai enampuluh.


Memang, akhir-akhir ini aku ngerasa banyak banget orang 'di sekitarku' yang meninggal. Meskipun kebanyakan orang yang meninggal nggak aku kenal secara langsung, tapi tetep aja mereka kerasa deket. Bayangin, pagi-pagi di grup chat keluarga kak Alwin bilang 'Aku masih di RS, temen-temenku meninggal, sebagian masih koma'. That is a crappy thing to read.

Wildhan, yang biasanya cuma jadi silent reader di Facebook. Tiba-tiba upload foto hitam-putih temennya dan bikin caption kenangan panjang banget. Bikin merinding. Temen-temen bloggerku, yang di Instagram upload foto bareng ci Rini dan bilang 'You'll be missed.' Mamih Nurul yang tiba-tiba chat aku dan bilang Ayahnya meninggal, padahal aku belum tentu bisa ngelayat juga. I feel bad, tho.

Kematian bisa datang kapan saja, di mana saja. Dan itu akan selalu jadi rahasia Tuhan.

Masalah kita cuma dua. Bisa nggak kita meninggalkan reputasi baik di bumi; dan membuat yang sama baiknya di langit?


Penyesalan memang selalu datang belakangan, karena kalau datang di awal itu namanya semangat dan niat.

Untuk yang meninggalkan, akankah kamu menyesal karena merasa belum bisa melaksanakan perintah Tuhan dengan benar di bumi?

Dan untuk yang ditinggalkan, akankah kamu menyesal karena belum pernah membuatnya bahagia? Akankah kamu menyesal karena tidak sempat mengutarakan betapa berharganya dia bagimu?

Apabila sudah saatnya datang padaku atau padamu, akankah kita menyesal karena masih banyak hal yang tertinggal?

PS; Guruku pernah bilang, orang yang paling pintar adalah orang yang selalu ingat akan kematiannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku jarang balas komentar di sini, kalau mau jawaban yang fast response boleh DM ke Instagramku (atau twitter) di @safiranys ya!

COPYRIGHT © 2017 · SAFIRA NYS | THEME BY RUMAH ES