“Bintang, di mata kamu aku
sebenernya kaya apa?” Hari bertanya, namun matanya menatap lurus ke arah langit
malam. Angin bertiup pelan, lembut. Aku menyandarkan diri di bangku taman yang
sedang kami duduki. Lampu yang ada di sisi kiri bangku kami berpendar lemah.
“Buat aku Har, do’a orangtua kamu bener-bener terkabul. Kamu bener-bener
layaknya matahari, Har. Pergerakannya semu, tapi kehadirannya sangat berarti
dan sangat dibutuhkan.” Hari menoleh, menatapku. Aku balik menatapnya. “Cie
banget kamu, diajarin siapa bisa bikin kata-kata kaya gitu?” Tanyanya lagi.
“Diajarin kamu. Karena kamulah cinta.” Jawabku. Hari tersenyum salah tingkah.
Aku hanya menyeringai lebar. “Dasar kamu. Beneran deh, lama-lama aku bisa
ngebukuin kata-kata kamu, saking banyaknya.” Aku tersenyum, cerah.
“Nah kan aku udah jawab. Sekarang
aku mau gantian nanya sama kamu. Aku di mata kamu kaya apa Har?” Tanyaku. Hari
kembali menerawang, menatap jutaan bintang yang bertabur beraturan di atas
sana. “Aku gabisa jawab seromantis kamu, Ta.” Ujarnya lemah. Aku hanya
tersenyum. “Aku ga menuntut keromantisan, Hari. Aku cuman pengen tau aku di
mata kamu kaya apa. Aku cuman mau jawaban kamu yang sejujur-jujurnya.” Ia
mendengus. “Kamu mungkin lebih dari jutaan bintang ini, Ta. Kamu itu cengeng,
ego, tapi multitalent. Orang dengan kepribadian paling kompleks yang pernah aku
kenal.” Jawabnya. Aku tertawa kecil. “Multitalent? Aku bahkan gabisa masak,
hari..” Balasku dingin. Kini ia terkekeh kecil.
“Aku rasanya lagi pengen ngebahas
tentang multitalent yang tadi kamu bilang, Har. Yah, kata kamu, aku emang
multitalent bidang apa?” Aku memecah keheningan, setelah sekian lama kami hanya
saling diam dan menatap langit. Hari memainkan ujung syal birunya. “Hmm.. yah
serbabisa aja gitu.. Nyanyi kan kamu bagus.. nulis apalagi.. gagambaran dikit
juga lumayanlah.. Basket oke kok. Kamu baru masuk setengah taun tapi
kelihatannya menonjol aja dari yang lain.. Apalagi ya? Apalagi wajah kamu
keliatannya bijaksana sama dewasa banget..” “Iya tapi padahal aku cengen sama
manja banget kan?” Potongku. Ia tertawa lagi. “Nah iya. Kamu tuh penuh kejutan.
Coba aku mau tau. Aku pernah denger, kata orang kamu bisa nge dance, emang
iya?” Tanyanya. “Yaa dikit dikit deh.” Jawabku seadanya. Hari bertepuk tangan.
“Kayanya enak banget ya punya
kemampuan multitalent gitu. Kalo aku sih bukan multitalent Ta, tapi aku tuh
serbaguna.” Ujarnya. Aku spontan menahan tawaku. “Serbaguna? Perasaan kaya
barang aja..” “Ya beginilah. Coba, aku jadi tukang ketik, tukang ini tukang
itulah.. yah banyak ngebantuin doang..” Ujarnya. Aku tersenyum dan menatapnya.
“Itu artinya kamu hebat, Har. Kamu berguna buat orang lain. Coba kalo bisanya
cuman nyuruh-nyuruh doang. Kan, gaada gunanya jadi orang. Inget Har, orang yang
paling penting dan berharga itu adalah orang yang keberadaannya dibutuhkan dan
berguna bagi orang lain.” Hari balas menatapku dan tersenyum.
“Tapi Har, kalo aku boleh bilang
ya, sebenernya gaenak juga kalo punya kemampuan multitalent gini. Aku bukannya
ga bersyukur Har, tapi aku males juga kalo lagi ada acara. Segalanya
bertubrukan.” Ujarku sembari mendengus. “Gaenak gimananya?” tanyanya dengan
nada sabar. “Yah coba aja bayangin. Di bulan-bulan antara April-Mei-Juni itu
kan lagi banyak-banyaknya acara. Dari mulai porak atau porseni, lomba-lomba
segala macem, UKK sampe pesta kenaikan kelas itu sendiri. Nah aku yang tadi
kata kamu multitalent, emang banyak banget ikut acara dari mulai acara yang di
dalem sekolah maupun luar sekolah. Banyak banget latihan, sampe banyak juga
jadwal yang tubrukan.” Ujarku berapi-api. Udara yang dingin tidak dapat
kurasakan. Hari hanya tersenyum mendengarkan.
“Selain itu, ada juga kegiatan
wajib yang dilluar latihan. Contohnya, buat waktu tidur. Sebagai atlit, aku
gaboleh kan tidur lebih dari jam sepuluh, tapi sebaliknya sebagai penulis aku
butuh banyak inspirasi dan ketenangan yang biasanya aku dapetin pas malem hari.
Kan ngga nyambung banget. Dan sebagai pelajar, aku harus bangun paginya buat
nerusin sekolah.” Sambungku. Hari hanya manggut-manggut. “Kamu cuman harus
bikin agenda aja, Bintang.” Tanggapnya. Aku mencibir. “Aku gasuka
dijadwal-jadwal gitu. Rasanya kaya orang terkenal gitu.” Balasku. Ia tertawa
geli. “Bintang, kalo suatu hari kamu terkenal kamu pasti harus mau dijadwal
kaya gitu. Aku tau kamu tuh gasuka diatur, bisanya spontan mulu, tiba-tiba gini
atau tiba-tiba gitu. Ya, hidup tanpa aturan itu memang enak, Bintang. Tapi
percaya deh, hidup dengan aturan iitu lebih enak.” Aku menatap matanya. Jernih,
ada sebuah danau kesabaran yang dalam di sana. Rumah keduaku.
“Iya juga sih. Tapi apa emang aku
harus siapin dari sekarang? Bakal jadi keajaiban deh kalo ntar aku bisa
seterkenal Paulo Coelho, J K Rowling, atau seenggaknya seterkenal Dee, Farida
Susanty, Asma Nadia dan kawan kawannya..” Balasku. “Bintang, bahkan pada dasarnya
kata Albert Einsten, hidup itu hanya dua. Satu, menganggap semuanya adalah
keajaiban atau dua, bahkan tidak ada keajaiban sama sekali di dunia ini. Kamu
harus pilih salah satunya.” Aku hanya menyeringai. Mata jernih itu menghangat,
pandangannya penuh sayang.
“Jadi, aku harus mulai bikin
sebuah agenda ya?” Tanyaku, konyol sekali. “Yeah exactly.” Jawab Hari. “Tapi
bikinnya gimana Har? Aku engga jago nih..” Keluhku. “Kamu kan suka nulis, Ta..
Coba mulai aja deh dari ngerencanain besok mau ngapain aja, kalo perlu bubuhin
aja jamnya. Gausah resmi, kaya semacam curhat aja, kaya.. misalkan: ‘Besok, aku sibuk. Pagi jam tujuh harus
latihan dance di alun-alun, terus langsung basket jam sembilan di Sukapura,
seselesainya istirahat dulu. Jam duabelas nge-date sama Hari ke Sabukara,
sambil nulis atau blogging. Besok pasti seneng banget!’ nah kaya gitu aja
kan bisa. Kamu kan udah biasa nulis buku
harian gitu.” Sarannya. “Iya tapi kamu ngedikteinnya kaya aku masih kelas empat
SD aja. Rentet sama rinci banget..” balasku. Ia mencibir. “Daripada ga jelas,
nanti kamu kan nanya lagi, aku ribet lagi ngejelasinnya..” Aku menyeringai.
Di atas sana, jutaan bintang
masih bertaburan memancarkan sinarnya. Terlihat samar, light pollution sudah
mulai merasuki kota kami. Udara masih terus bertiup dengan lembut. Yang aku
rasakan di bangku ini bukanlah kedinginan, kesepian atau kecemasan. Aku merasa
bersinar, penuh makna dan hangat. Karena Matahari sedang duduk di sampingku.
Mungkin ia bukanlah Matahari yang setiap hari memenuhi kebutuhan sinar bumi,
namun ia adalah Matahari yang setiap detik melengkapi hidupku. Setidaknya,
hingga detik ini.
“Know what, Bintang? Aku selalu
berpikir kalo aku ini hanya nol. Sebuah nol. Kosong, tanpa apapun tapi selalu
ada. Setidaknya, di hatimu.” Aku tersenyum. Ternyata ia bisa bergerak, tidak
hanya semu. Namun juga nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Aku jarang balas komentar di sini, kalau mau jawaban yang fast response boleh DM ke Instagramku (atau twitter) di @safiranys ya!